Jejak Kaki Misterius
Cerpen Karangan: Anila Imroatul M SKategori: Cerpen Misteri, Cerpen Petualangan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 29 March 2016
Hari libur semester adalah hari kebahagiaan bagi setiap anak yang memiliki status di bidang pendidikan. Bahagianya adalah mereka bisa terbebas dari pelajaran-pelajaran sekolah yang melelahkan, walaupun hanya sementara waktu. Biasanya, di hari-hari itu mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain, mengobrol, dan melakukan hal-hal untuk mengisi waktu luang mereka. Akan tetapi, tidak jarang juga di antara mereka yang mengisi waktu berliburnya dengan belajar dan mempersiapkan diri di semester depan atau di tahun ajaran baru.
Kalau aku sih pilih mengisi waktu luangku dengan bermain, membaca buku, dan pergi jalan-jalan bersama keluarga dan teman-teman. Hmm.. bagiku, liburan semester itu tidak hanya membahagiakan tetapi juga membawa suasana yang benar-benar free. Pagi itu, tepat pada hari ketiga Julian datang ke rumahku. Dia mengajakku untuk berpetualang ke hutan di dekat pesisir pantai. Aku berpikir sejenak.
“Masa, hanya berdua dengan dia saja aku berpetualang ke hutan? Ah, yang benar saja. Lagi pula, Julian juga anak penakut,” gumamku. Lalu, aku bertanya sesuatu padanya.
“Jul, apa kita hanya berdua saja untuk berpetualang ke hutan? Lagi pula, hutan di sekitar pantai kan gelap dan pasti banyak nyamuknya di sana.”
“Enggak kok. Ya kita pergi ke sana sama anak-anak yang lain juga, seperti Gilang, Afi, Anti, Hiya, Fitra, dan yang lainnya. Udah deh kamu tenang aja An, mereka pasti mau kok. Mereka kan juga calon-calon BOLANG.”
“Jul, apa kita hanya berdua saja untuk berpetualang ke hutan? Lagi pula, hutan di sekitar pantai kan gelap dan pasti banyak nyamuknya di sana.”
“Enggak kok. Ya kita pergi ke sana sama anak-anak yang lain juga, seperti Gilang, Afi, Anti, Hiya, Fitra, dan yang lainnya. Udah deh kamu tenang aja An, mereka pasti mau kok. Mereka kan juga calon-calon BOLANG.”
Jujur, aku langsung terdiam tanpa kata. Julian mengerutkan keningnya ketika melihatku seperti orang kebingungan. Lalu, dia mengejekku dan mengatakan kepadaku bahwa aku anak yang ALAY. Dia juga mengatakan kalau aku ketakutan digigit nyamuk, takut hitam bila terkena sinar matahari, dan lain-lain tentang diriku disebutkannya. Aku sempat berteriak ketika Julian mengata-ngatai aku seperti itu. Sampai akhirnya dia menyerah dan meminta maaf kepadaku. Aku pun memaafkannya. Aku mengatakan dan memintanya untuk tidak mengulangi ucapannya lagi.
Setelah itu, Julian menanyakan tentang rencana berpetualang itu kepadaku. Aku hanya menganggukkan kepala dan menyetujui pernyataan dari Julian. Julian mengangkat jempolnya di hadapanku. Aku pun membalasnya dengan senyuman, dan dia pun juga tersenyum kepadaku. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Julian mengajakku pergi ke desa sebelah untuk mengunjungi sawah kakeknya. Memang, kalau hari libur begitu aku dan Julian sering pergi ke sawah kakeknya untuk melihat-lihat pemandangan sawah yang menghijau di bumi desa sebelah.
Setibanya di sana, kami bertemu dengan Gilang dan Frith. Aku memberitahu tentang rencana Julian tadi kepada mereka berdua. “Wah, berpetualang ke hutan? Boleh juga tuh. Kita kan para-para BOLANG. ‘BOCAH-BOCAH PETUALANG.’ Hehehe.. ” Gilang merespon seperti itu. Frith pun menyambung, “Ide kamu bagus Jul. Kamu benar-benar jenius. Kadang-kadang tapi. Hahahaha.”
Julian mengerutkan keningnya ketika mendengar ucapan Frith yang meledek dirinya. Gilang langsung menyenggol tangan Frith dan mengatakan bahwa ucapan seperti itu tidak baik. “Jangan lupa ajak Hiya dan kawan-kawan.” Pintaku kepada mereka berdua. “Siap ndan!” Jawab mereka bertiga dengan kompak. Mendengar jawaban jahil mereka yang begitu kompak, aku hanya tersipu sambil tertawa kecil di dalam hati. Ya, maklum sajalah aku menyukai salah seorang di antara mereka yaitu Julian. Sssssttttt! Hehehe.
Waktu demi waktu telah berlalu. Hari pun semakin panas. Perbincangan kami akhiri dan kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sampai akhirnya, malam pun telah tiba. Seperti biasa, kalau hari libur setelah salat maghrib aku pergi ke rumah kakek dan nenek untuk menginap di sana. Sesampainya di sana, tiba-tiba.. Tuuuuuttt.. tuuuuttt.. tiiiittt.. Itu adalah nada dering di HP-ku. Hiya meneleponku dan menanyakan tentang rencana berpetualang ke hutan. Dia mengatakan bahwa dia dan teman-teman yang lain sudah berembuk masalah penentuan waktu untuk ke sana. Katanya, waktu yang tepat adalah di hari Sabtu. “Biar bisa sambil malam mingguan An. Hahaha. Gimana, setuju tidak? Kalau setuju, nanti secepatnya kamu beritahu Julian ya!”
Setelah teleponnya mati, aku cepat-cepat memberitahu Julian. Ya, sekalian modus. Hehehe. Biar bisa sms-an sama Julian. Julian mengiyakan di dalam pesannya. Aku sangat senang sekali. 2 hari telah berlalu. Tiba saatnya hari Jum’at. Pada Jum’at malam, aku mempersiapkan apa saja yang akan aku bawa selain tas ranselku itu pada saat berpetualang di hutan nanti. Lagi pula, aku akan membawa Camera Digital untuk mengabadikan peristiwa ini. Aku dan teman-teman berencana berangkat sore hari dan berada di sana selama 2 hari. Kini telah tiba pada waktunya. Hari sabtu sore aku dan teman-teman berangkat ke sana menaiki bus. Begitu aku sampai di sana, aku dan teman-teman langsung menuju tempat tujuan.
Hari semakin sore. Senja kini akan menenggelamkan mataharinya karena hari akan malam. Terdengar adzan berkumandang, aku dan teman-teman berhenti melanjutkan petualangan ke hutan untuk salat dan habis itu makan malam. Sehabis salat dan makan, aku dan Julian sempat meminta untuk melanjutkan perjalanan duluan. “Ehmm.. ciiieeee. Ke mana-mana kok selalu berdua aja sih? Kayak pengantin baru saja. Hahaha..” ledek Hiya kepadaku. Hal yang sama juga dilakukan oleh Afi dan Alin. Namun, aku hanya tersenyum. Julianlah yang menjelaskan semuanya. Akhirnya pun, kami diizinkan untuk melanjutkan perjalanan. Setelah sampai di hutan lagi, Julian mengajakku bercanda tawa. Aku sedikit agak tersipu.
“Kenapa kok diam saja? Dari tadi di ajak bicara kok SALTING begitu? Ada yang salah ya sama omonganku?”
Aku pun menjawab, “Enggak kok Jul. Gak apa-apa kok, aku tidak SALTING tuh. Kamunya aja kali yang GR.”
Julian hanya menatapku sambil tersenyum dan tiba-tiba dia mengatakan, “Aku tuh.. Sayang banget sama kamu. Maaf kalau aku to the po, point sama kamu Anila.”
“Aaa. Aaa. Aku.. Aku juga sayang sama kamu Julian.”
Aku pun menjawab, “Enggak kok Jul. Gak apa-apa kok, aku tidak SALTING tuh. Kamunya aja kali yang GR.”
Julian hanya menatapku sambil tersenyum dan tiba-tiba dia mengatakan, “Aku tuh.. Sayang banget sama kamu. Maaf kalau aku to the po, point sama kamu Anila.”
“Aaa. Aaa. Aku.. Aku juga sayang sama kamu Julian.”
Tak terasa, aku dan Julian semakin jauh. Saking asyiknya bercanda, kami lupa bahwa teman-teman tertinggal di tempat penginapan. “Ah paling sudah di perjalanan,” kataku di dalam hati. Tiba-tiba.. Auuuuuuumm.. Uuaaaauuuumm.. Aku dan Julian mendengar suara itu. Aku agak takut, dan sempat merangkul Julian. Julian mengatakan bahwa tidak ada apa-apa di hutan ini selain binatang-binatang penghuni. Entah itu buas atau tidak. Tak lama kemudian, disusul pula suara cempreng dari mulut Tika yang memanggil-manggil namaku dan namanya Julian. Syukurlah, ternyata teman-teman berhasil menemukan kami. Akhirnya, aku dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan. Karena hari semakin gelap, senter yang kami bawa kami nyalakan semua. Karena kecerobohannya, lampu senter Hiya mati. Gilang mencoba membenarkannya. Ketika membenarkan senter Hiya, Gilang mengarahkan senternya ke bawah, dan..
“Hey kawan-kawan! Coba lihat ke sini. Ada jejak kaki besar banget. Aneh ya? Gak masuk akal coba.”
“Mungkin saja itu jejak kaki hewan-hewan raksasa di zaman Prasejarah dulu. Kayak katanya Guru Sejarah itu loh.” Kata salah seorang temanku, Zidan. Maklum, dia terobsesi dengan ajaran Guru Sejarah tempo hari.
“Ah, ngaco kamu Zidan! Kan itu sudah ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu. Mana mungkin sekarang masih ada. Jangan berkhayal kamu!” sambung Tomi.
“Mungkin saja itu jejak kaki hewan-hewan raksasa di zaman Prasejarah dulu. Kayak katanya Guru Sejarah itu loh.” Kata salah seorang temanku, Zidan. Maklum, dia terobsesi dengan ajaran Guru Sejarah tempo hari.
“Ah, ngaco kamu Zidan! Kan itu sudah ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu. Mana mungkin sekarang masih ada. Jangan berkhayal kamu!” sambung Tomi.
Aku mencoba melerai percakapan Zidan dan Tomi. Kalau tidak begitu, nanti bisa menjadi pertengkaran di antara mereka. Telah disadari, bahwa Tomi memang anak keras kepala yang tidak menyukai kepintaran dan pendapat Zidan. Aku semakin penasaran. Aku meminta teman-teman untuk bersama-sama mengikuti jejak kaki tersebut. “Anila, kamu gandengan sama aku aja senternya.” Kata Julian. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Cie. Cie. Cie.. Kalian berdua udah jadian ya? Pj-nya dong.” Kata Gilang yang mencoba-coba untuk menggodaku dan Julian. Julian menggelengkan kepala dan mengatakan bahwa kami hanya teman saja dari dulu. Usai perbincangan dan senternya Hiya kembali nyala, maka kami melanjutkan perjalanan. Anehnya, jejak kaki yang kami ikuti itu bentuknya berbeda-beda setelah kami coba telusuri. Arahnya pun tak menentu. Aku khawatir jejak ini membawa kami tersesat saat di dalam hutan. Pikiran yang sama, diucapkan Julian dan Frith kepadaku. Setelah itu, aku meminta bagi teman-teman yang tidak ingin melanjutkan perjalanan, silahkan kembali saja ke penginapan.
“Enak saja kamu Anila! Kita ke sini kan mau merasakan petualangan malam, kelllesss! Lagian, aku juga berani kok. Aku kan bukan anak penakut. Aku juga masih kuat.” Jelas Hiya. “Ya sudah. Aku hanya memberi saran saja.” Kemudian, kami mencoba menelusuri lebih jauh lagi. Frith yang membawa kamera, sempat memotret jejak-jejak kaki tersebut. Dia akan membawakannya untuk Guru Sejarah. Aku semakin penasaran. Aku ingin menuju lebih jauh lagi. Dan..
“Pohon besar? Pohon apa ini? Kenapa jejak kaki itu berhenti di sini?” gumamku dalam hati. Tiba-tiba, Julian menanyaiku dengan penuh kekhawatiran. Aku meyakinkannya, bahwa aku tidak apa-apa. “Kenapa berhenti Anila?” tanya Frith kepadaku.
“Pohon besar? Pohon apa ini? Kenapa jejak kaki itu berhenti di sini?” gumamku dalam hati. Tiba-tiba, Julian menanyaiku dengan penuh kekhawatiran. Aku meyakinkannya, bahwa aku tidak apa-apa. “Kenapa berhenti Anila?” tanya Frith kepadaku.
Aku hanya menggelengkan kepala dan melambaikan tangan. Mencoba menarik senter milik Julian dan melihat-lihat apakah masih ada jejak kaki berbeda di tanah di balik pohon tersebut. Ternyata dugaanku benar. Jejak kaki yang lebih terlihat berbeda lagi ada di balik pohon itu. Julian dan kawan-kawan ikut penasaran. Mereka terngiang-ngiang dan semakin ingin mengikuti jejak kaki itu. Unik sekali, di hutan ada bekas jejak kaki raksasa yang berbeda-beda. Kelihatannya, semakin lama semakin menjauh. Kian menjauh, dan kian menjauh lagi. Dan yang lebih aneh, kenapa di hutan ini ada tanda belok kanan yang dipasang. Seperti habis dipakai jelajah mungkin. Yang lebih menakutkan lagi, di samping tanda panah itu ada jurang yang dalam. Aku dan teman-teman benar-benar sudah tersesat begitu jauh.
“Apa? Kita tersesat? Waaaaa!! Gak bisa pulang dong. Huhuhu. Huhuhu..” ucap Frith sambil menangis.
“Dasar cengeng kamu Frith. Baru begini saja kamu sudah takut. Cemen kamu.” Sambung Gilang yang omongannya suka ceplas-ceplos.
“Dasar cengeng kamu Frith. Baru begini saja kamu sudah takut. Cemen kamu.” Sambung Gilang yang omongannya suka ceplas-ceplos.
Kami berencana melanjutkan perjalanan besok pagi. Kami mencari tempat berteduh di bawah pohon, dan kami mencoba tidur di sana. Di tanah yang aku jadikan sebagai alas tidur, di situ pun juga ada jejak kaki. Benar-benar sebuah misteri. Tak terasa, fajar pun mulai menyingsing. Sang Surya menunjukkan sinarnya kepada kami. Aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, setelah aku dan teman-teman mengikuti banyak jejak-jejak itu lagi, aku melihat pantai dan melihat rumah penginapan serta orang-orang yang sedang berjemur di pantai. Ini benar-benar sebuah misteri.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku benar-benar bingung, bahkan teman-teman pun mempunyai pikiran yang sama sepertiku. Sungguh, sulit dipercaya. Petualangan ke hutan tadi malam tak hanya memenatkan, tapi begitu mengesankan. Tidak masuk akal, hanya dengan mengikuti jejak kaki sudah bisa sampai lagi ke tempat penginapan. Dan satu hal yang patut dipertanyakan lagi. Kenapa jejak kaki itu begitu besar? Dan siapa yang mempunyai jejak kaki seperti itu? Apakah hanya buatan semata? Atau memang resmi dari alam? Subhanallah, entah itu jejak kaki siapa dan untuk apa, aku dan teman-teman tetap senang ketika sudah bisa sampai ke tempat penginapan. Rasanya seperti bermimpi bisa berpetualang dan mendapatkan pengalaman seperti ini.
Cerpen Karangan: Anila Imroatul M S
Facebook: Anila Imroatul Marifah Sulha
Nama: Anila Imroatul Ma’rifati Sulcha
Asal Sekolah: SMA NEGERI 1 KARANGAN – TRENGGALEK
Kelas: XI IPA 3
Cita-cita: Dokter dan penulis
Hobi: Basket, membaca, menulis
Facebook: Anila Imroatul Marifah Sulha
Nama: Anila Imroatul Ma’rifati Sulcha
Asal Sekolah: SMA NEGERI 1 KARANGAN – TRENGGALEK
Kelas: XI IPA 3
Cita-cita: Dokter dan penulis
Hobi: Basket, membaca, menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar