SELAMAT DATANG DI LINK INI SEMOGA BISA MENAMBAH WAWASAN KALIAN YA

Selasa, 11 Februari 2020

cerpen

Kau dan Pendakianku

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam)Cerpen Petualangan
Lolos moderasi pada: 13 December 2016

Pagi ini aku sudah siap dengan semua peralatan, perlengkapan pribadi serta logistik di dalam ransel seberat 40 liter. Sepatu bertali serta jaket anti air pun tak lupa ku bawa. Hari yang kutunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Setelah sekian lama, menantikannya barulah sekarang akan kesampaian.
Ya, ini adalah pertama kalinya aku akan mendaki. Sebagai pendaki pemula, aku diarahkan oleh teman untuk memulainya dengan gunung yang pendek terlebih dahulu. Sebut saja ia Deon, lelaki bertubuh tinggi, berkulit sawo matang, rame, dan berkali-kali memandu para pendaki yang ingin mencapai puncak gunung.
Tepat jam 9 pagi ia menjemputku, segera saja kami berangkat ke tempat dimana para pendaki pemula lainnya berada. Disanalah aku berjumpa dengan para kawan pendaki. Perjalanan menuju kaki gunung pun dilakukan. Setelah beberapa menit melewati berbagai rintangan di jalan, seperti hujan. Akhirnya kami sampai juga di salah satu basecamp para pendaki.

Pendakian tak langsung dilakukan, melainkan kita perlu istirahat terlebih dulu. Sembari menunggu cuaca gerimis hujan mereda. Tapi ternyata dugaan kami salah, hujan tak juga kunjung reda. Ditengah cuaca gerimis, Deon dan pemandu lain memutuskan untuk melakukan pendakian.
Para pendaki sudah berjalan di depanku lebih dulu. Sementara aku dan Deon, berada di barisan paling belakang. Aku tak pernah menyangka, kalau ternyata medan pendakian itu sangatlah berbeda. Tidak bisa disamakan dengan seperti ketika jalan kaki.

Begitu pula dalam pendakian ini, ada jalan yang landai, namun ada pula yang sangat terjal. Baru juga awal pendakian, namun napasku sudah terengah-engah. Rasanya seolah napasku seakan mau berhenti.
“Host… host… host…” aku terpaksa harus menghentikan langkah.
“Mia, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian ikut menghentikan langkah.
“Napasku nggak kuat Deon… rasanya sudah mau kehabisan napas saja,” sahutku sembari menyandarkan tubuhku pada sebatang pohon.


“Minumlah dulu!” suruhnya menyodorkan sebotol air mineral yang dibawanya. Aku langsung meneguknya tanpa pikir panjang.

Perjalanan pun kami lanjutkan lagi, sebab aku tak ingin ketinggalan jauh dari team. Sebab para pendaki terlihat berjarak beberapa meter didepan kami. “Yok jalan lagi!” seruku.
Deon bukannya berjalan di depanku, ia justru memilih di belakang. Selang beberapa puluh meter dari tempat sebelumnya. Lagi-lagi aku harus menghentikan langkahku. Kejadian itu pun sontak membuat Deon dan kedua temannya ikut berhenti. Melihat situasi itu, pikirku dipenuhi beragam pertanyaan. “Duh, aku jadi penghambat deh. Gara-gara aku, mereka harus terhenti,” kegelisahan muncul begitu saja dalam benakku.

Bagaimana tidak sementara pendaki yang lain tetap melanjutkan pendakiannya. Aku malah menyita waktu Deon dan temannya, untuk menemaniku beristirahat. Di tengah hutan dalam gunung ini, tak bIsa kupungkiri, rasa bersalah pun muncul dalam benakku. Aku takut, jika fisikku yang ternyata lemah ini, tak mampu melanjutkan perjalanan seperti yang lain. Melainkan butuh waktu berkali-kali untuk istirahat.
“Deon, kemarilah!” Deon lekas mendekatkan telinganya. “Pasti gara-gara aku ya? Mereka jadi ikut-ikutan berhenti. Dan bisa terlambat sampai puncak,” bisikku tepat didepan telinganya.
“Tenanglah. Tidak masalah… Di dalam gunung, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi. Tapi ada banyak hal, yang akan kamu ketahui. Bahkan hal yang tidak pernah kamu duga sekalipun,” tukasnya. Menimbulkan sejuta pertanyaan di pikiranku, apa maksud ucapannya.
Tapi sudahlah, itu tidak penting sekarang. Aku kembali meneguk air mineral yang menggantung di ranselku. Kami bergegas melanjutkan perjalanan lagi. Ternyata benar ucapan Deon, selang beberapa menit kami berjalan. Rombongan kami yang jauh berada di depan, harus terhenti. Ada salah satu dari mereka yang tengah dikerumunin. Nampak raut muka teman-teman lain sangat cemas. Aku pun lekas mempercepat langkahku, disusul Deon.

“Ada apa ini?” celetukku.
“Itu kakinya kram!” sahut seorang cewek yang menopang tubuhnya.

Terlihat kaki gadis yang terbaring itu, tengah dipijat oleh kawan lainnya menggunakan balsem. “Lah, bagaimana sih? Kram kok malah dipijat?” gumamku. Sebab setauku, berdasarkan ilmu yang aku peroleh dalam pertolongan pertama bukanlah seperti itu. Terang saja, tanpa basa-basi. Aku mengambil alih, dan langsung menekan kakinya ke arah atas. Guna kembali melancarkan peredaran darahnya.
Sementara saat kami tengah sibuk melakukan pertolongan, dan kawan-kawan lainnya mengusapi tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan. Salah seorang cowok justru berteriak, “Jangan dimanja. Dia itu sebenarnya kuat! Jadi ayo bangun, kamu pasti bisa!” teriaknya.
“Apa-apaan sih orang ini!” geramku kesal. Mungkin maksudnya memberikan motivasi, tapi bukan begitu donk. Aku benar-benar kesal, melihat sikapnya yang sok mengatur. Namun aku tak mengindahkan ucapannya. Fokusku saat itu, hanyalah menstabilkan kembali kaki gadis itu.
Butuh waktu yang lumayan lama, hingga akhirnya kondisinya kembali normal. Meski tidak sama dengan ketika akan berangkat. Ya mau tidak mau, gadis itu harus beristirahat terlebih dahulu. Setelah perdebatan cukup lama, alhasil sebuah keputusan diambil. Gadis itu harus tinggal ditemani oleh kedua temannya. Sementara pendaki lainnya melanjutkan pendakian.

Lagi-lagi Deon memintaku untuk berjalan belakangan. Dan membiarkan yang lain jalan lebih dulu. Aku paham, maksud tindakannya. Hal itu dikarenakan fisikku yang tidak sekuat teman-teman lainnya. Kini Deon beralih jalan di depanku. Saat aku akan melangkah, mendadak sebuah uluran tangan melayang ke depan mataku. “Deon!” sentakku kaget.
“Iya, peganglah tanganku. Aku akan menarikmu. Sehingga kau tidak perlu khawatir,” ujarnya. Perasaanku sontak jadi bergumuk tidak karuan. Mengapa sikapnya dia berubah demikian. “Ayo! Atau kita akan ketinggalan rombongan!” celetuknya lagi.
Terang saja aku langsung meraih tangannya. Dan yang terjadi, perasaanku jadi berbeda terhadapnya. Aku melihat ketulusan hatinya, dari sikapnya yang memberikan tangannya untukku. Tidak hanya itu saja, aku juga jadi melihat kesabarannya, yang setia menemani perjalananku. Bahkan ia tidak mengeluh sekalipun. Ia justru membuatku yakin, bahwa aku mampu mencapai puncak. Meski dengan fisik seperti sekarang.
“Di dalam gunung, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi. Tapi ada banyak hal, yang akan kamu ketahui. Bahkan hal yang tidak pernah kamu duga sekalipun,” tiba-tiba saja ucapan Deon menggema di telingaku.

“Apakah ini yang ia maksud?” gumamku berpikir. Memang benar, aku tidak pernah menduga jika Deon akan bersikap sebaik ini padaku. Sampai membuatku terbawa oleh perasaan yang berkecamuk. “Hemmtt… tapi aku kan nggak mungkin menanyakan hal ini padanya,” pikirku lagi menggumam. “Ahh… iya, sebaiknya aku tanyakan kejadian tadi saja!”
Deon masih terus menatap ke depan, sembari sesekali menatap tangan dan langkah kakiku. Memastikan apakah pijakanku benar atau tidak.
“Deon…” panggilku.
“Iya,” sahutnya menoleh.
“Kamu kan tadi bilang, kalau digunung akan ada banyak hal yang ku ketahui. Apakah maksudmu seperti kejadian barusan?”
“Iya Mia. Kau tau kan bagaimana situasinya tadi? Ada yang panik, ada yang bingung, namun ada pula yang tak sabar ingin melanjutkan perjalanan,” tuturnya.
“Iya juga ya… ehh.. kamu tau nggak? Aku tadi rada sebel tau sama tuh cowok! Suka ngatur banget! Udah tau temennya lagi kesakitan! Ehhh… dianya malah bersikap seperti itu!”
“Hahaha… jangan manyun begitu donk. Mukamu jelek lo,” godanya. Rasa kesal pun seakan mencair dengan candaannya. “Memang begitulah. Saat kita sedang berada di gunung apa saja bisa terjadi. Kita juga bisa mengetahui banyak hal. Termasuk karakter orang.”
“Maksud kamu?” celetukku penasaran.
“Iya, di dalam pendakian. Kamu akan mengetahui bagaimana karakter temanmu. Apakah dia tipikal setia kawan, pemarah, suka ngatur, penyabar, atau yang lainnya.”
“Ohh… jadi begitu ya?”
“Iya. Sekarang kamu mengerti bukan?” tanyanya. Aku pun mengangguk pelan. Perlahan ia mengelus kepalaku. Tentu saja, kejadian beberapa detik itu membuatku merinding. Melihatnya menggenggam tanganku saja, sudah membuat jantungku berdebar-debar. Ini ditambah mengusap rambut, lengkap sudah rasa campur aduk mengisi hatiku.
“Deon… apakah sikapmu ini juga termasuk salah satunya?” gumamku memandangi punggungnya.
“Mia, lihatlah jalan setapak ini! Jangan bengong!” gertaknya mengagetkanku.
“Iya.”
“Aku akan mencarikan jalan yang landai untukmu. Sebetulnya kalau ingin cepat, kita bisa pakai jalan yang terjal. Tapi untukmu, aku akan mencarikan jalan yang lebih landai,” jelasnya.
“Maaf ya, pasti aku jadi merepotkanmu deh. Andai saja fisikku seperti mereka, pasti kita tidak tertinggal jauh seperti sekarang,” ucapku cemas.
“Kamu ngomong apa sih? Udah! Perhatikan saja jalanmu, jangan ngomong yang bukan-bukan.”
Perjalanan yang tadinya terasa sulit kulalui, kini terasa sangat mudah. Dalam setiap perjalanan, Deon terus menggenggam tanganku. Ia bahkan tak membiarkan tanganku lepas dari tangannya. Pernah sekali tanganku terlepas, waktu aku terpeleset. Lantaran jalanan yang licin, akibat air hujan. Namun dengan sigap cowok tinggi semampai itu langsung meraih tanganku.
Bersama dia, pendakian ini pun membuatku merasa aman. Aku jadi lebih terjaga. Sebab Deon selalu siap menjagaku, dan tidak pernah melewatkan barang sedetik saja untuk memantau keadaanku. Dalam setiap istirahatku, ia juga tak lupa menyodorkan minuman yang dibawanya.
Waktu belumlah begitu larut, tapi jalanan pendakian sudah mulai terhalang oleh kabut. Terang saja pandangan mulai samar. Bahkan sulit untuk melihat para pendaki lainnya yang berada di depan.
“Berhati-hatilah Mi, kabut sudah mulai turun,” celetuk Deon.
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.
“Deon, bisakah kita istirahat sebentar?”
“Tentu saja. Tapi sebaiknya kita naik sedikit lagi, di depan sudah sampai pos tiga.”
Mau tak mau, aku harus tetap memperkuat langkah dan napasku. Tak lama kemudian, tibalah di tempat yang dimaksud oleh Deon. Kami beristirahat sejenak.
“Deon, kabutnya sepertinya semakin tebal?” ocehku celingukan melihat sekitar penuh dengan kabut.
“Iya, memang beginilah kalau di gunung. Kita hampir mendekati puncak. Jadi pasti melihat kabut.”
“Ohh… begitu ya?”
“Minumlah dulu, biar nggak dehidrasi!” suruhnya menyodorkan sebotol air mineral. Aku segera mengambil dan meneguknya. “Gimana sudah enakan?”
“Iya!”
“Jadi bisa lanjut lagi donk?” ujarnya melebarkan senyum.
“Tentu!” sahutku sumringah.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan lagi. Setelah beberapa menit berjalan, nampak awan mulai gelap. Jalanan pun jadi mulai tak terlihat. “Bagaimana ini?” gumamku kebingungan. Sementara Deon tetap saja menarik tanganku dan memintaku untuk mengikuti jejak langkahnya.
“Auwww…!!!” tiba-tiba saja aku terpeleset dalam lubang.
“Mia! Apa kamu baik-baik saja?” cemasnya sembari menopang tubuhku. “Apa kakimu terkilir?” lanjutnya.
“Hehehe… tidak kok. Aku nggak apa-apa,” sahutku nyengir.
“Dasar kamu ini! Malah ketawa!” celotehnya mengusap kepalaku. Entah apa yang dilakukannya, ia seperti tengah mencari sesuatu di dalam tas ranselnya.
“Cari apa?”
“Cari sesuatu…”
“Iya apa?” aku makin penasaran.
“Nah, akhirnya ketemu juga!” serunya kegirangan. Nampak ia mengeluarkan sebuah senter. “Yok, sekarang kita lanjut lagi. Aku akan membantumu berdiri.”

Kami berdua kembali melanjutkan pendakian. Tentunya bermodalkan penerangan dari senter milik Deon. Lelaki itu lagi-lagi tak membiarkanku jalan sendiri. Ia terus saja menggandeng tanganku. Macam sudah ada perekat, tangan kami selalu menempel.
Akhirnya pendakian kami berakhir juga. Ya, aku telah sampai puncak. Terlihat ada banyak tenda yang berdiri disana. Namun tak banyak kawan pendaki yang keluar tenda. Sebab cuaca sedang tidak mendukung. Entah ini gerimis, atau kabut yang berasal dari gunung. Akan tetapi puncak terlihat sangat gelap.
Perjalanan yang awalnya diprediksi akan sampai puncak dalam waktu 45 menit. Justru harus mundur hingga 2 jam. Bukannya mendapatkan senja, yang ada hanyalah kabut gelap.
“Mia, masuklah ke tenda yang lain dulu. Sementara itu aku akan mendirikan tenda!” suruh Deon menunjuk tenda milik kawan kami.
Cuaca malam ini memang benar-benar sangat dingin. Padahal baru saja lewat isya’, namun angin terasa menyayat kulit. Dinginnya merasuk hingga ke bagian dalam kulit. Guna mengatasi cuaca yang amat dingin, para kawan pendaki segera memasak air. Teh dan kopi pun siap dinikmati.
Baru akan meneguk secangkir teh, “Mia, kemarilah! Tendanya sudah jadi!” seru Deon memanggil. Gagal deh, aku harus segera menuju ke tenda yang dibuat oleh Deon.
“Masuklah!” serunya dari dalam. Terlihat ada para kawan pendaki lainnya. Sontak aku masuk kedalam tenda. “Kau pasti kedinginan kan?! Tenang saja, kita akan buat kopi!” imbuhnya kemudian.
Deon segera mengeluarkan kompor mini yang memang diperuntukkan bagi pendaki. Dengan sigap ia memasak air. Dibantu oleh Nana yang menuangkan air ke dalam panci. Sementara aku hanya menyaksikan mereka.
Tak lama kemudian air mendidih. Deon lekas menyiapkan dua gelas. Satu untuk segelas susu, satunya lagi untuk segelas kopi. Lagi-lagi aku hanya melihatnya saja.
“Nah, sekarang minumlah ini! Biar tubuhmu hangat!” ia menyodorkan segelas susu itu padaku. Aku langsung meneguknya secara pelan-pelan. Namun bukan untuk dihabiskan sendiri. Sebab ketika berada digunung, apapun yang menjadi milik kita, maka itu juga milik orang lain.
Ya, baik segelas susu maupun segelas kopi. Keduanya digunakan untuk share atau berbagi satu sama lain. Bahkan teman dari tenda lain pun juga boleh ikut menikmati.
“Beginilah kalau digunung!” celetukan Deon menggema di telingaku. Karena dialah aku mengerti hal lain lagi. Seperti berbagi kepada yang lain.
Celotehan Deon membuatku dan kawan lainnya yang berada dalam satu tenda tertawa terbahak-bahak. Kami tak bisa berhenti dibuatnya tertawa. Ya begitulah Deon, sedari dulu tidak ada yang berubah darinya. Ia memang suka sekali membuat candaan yang tak masuk akal. Sampai ujungnya siapapun yang diajaknya mengobrol pasti terpingkal-pingkal.
Usai bercanda tawa, aku tak bisa mengingkari diriku. Mataku sudah mulai mengantuk. Melihat hal ini, Deon lekas menyuruhku untuk tidur lebih dulu. “Tapi kamu gimana?” celetukku.
“Tenang saja! Kalau jam segini aku masih belom bisa tidur! Kamu tidurlah duluan,” tukasnya menyiapkan sleeping bed. “Pakailah ini!” ucapnya kemudian.
Terang saja aku langsung masuk ke dalam sleeping bed. Dibantu olehnya menutup resleting hingga bagian leher. Sehingga tubuhku aman dari cuaca dingin malam ini.
Entah apa yang terjadi, mendadak tubuhku menggigil kedinginan. Di luar terdengar suara angin kencang. Lampu emergency yang menggantung di atas tenda pun terus bergoyang. Aku semakin khawatir melihatnya. Sementara Deon tertidur nyenyak di sebelahku. Tapi aku tak bisa menahan kekhawatiranku. “Deon! Bangunlah!” seruku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Dia masih belum bangun, cuma menggeliat. “Deon! Ayo, bangunlah!” aku mengguncang tubuhnya makin kencang.
“Mia…” sahutnya sembari membuka matanya yang masih samar-samar. “Ada apa?”
“Itu lihatlah di luar!”
“Tenanglah, itu angin. Sudah biasa, kalau di gunung akan terjadi seperti itu,” sahutnya setengah sadar.
“Deon… tubuhku dingin sekali…” ucapku lirih. Sontak ia segera beranjak bangun, dan membuka resleting sleeping bed yang kukenakan. Lantas membantuku bangun.
Perlahan ia mengeluarkan kedua kakiku dari sleeping bed. “Benar! Kakimu dingin sekali!” kagetnya saat menyentuh kedua kakiku. Ia lekas melakukan pertolongan dengan mengusapkan kedua kakiku, dengan gesekan kedua tangannya. Nampak ia benar-benar cemas dan khawatir. Ia juga tidak lupa menggosok kedua tanganku, untuk membuatnya menjadi hangat. Sementara itu tidak ada yang dapat kulakukan selain diam dan memperhatikannya. Namun melihat tindakannya, membuatku merasakan sesuatu yang lain terhadapnya.

“Oke! Sekarang kau harus pakai ini!” tukasnya sambil mengenakan kaos kaki di kakiku. Tak lupa kaos tangan untuk kedua tanganku. Ia pun segera menutup kembali resleting sleeping bed yang ku kenakan. “Nah, sekarang tidurlah lagi,” lanjutnya sembari membantuku merebahkan tubuh di atas matras.
Usai menikmati keindahan gunung dan berfoto-foto selfie bersama. Akhirnya kami memutuskan untuk turun. Kami para pendaki telah membereskan barang-barang termasuk sampah yang ada di sekitar sana. Siang ini kami memutuskan untuk turun. Saat aku akan melangkahkan kakiku. “Sreekkk…” tiba-tiba saja, ada seseorang yang menarik tanganku. Sehingga langkahku harus tertunda.
“Deon!” sentakku saat menoleh dan menyadari kalau orang itu adalah Deon.
“Iya, kita jalan belakangan aja,” ujarnya.
Entah apa yang kupikirkan waktu itu. Rasanya aku tak mampu menolaknya. Jadi aku hanya menurut. Benar, Deon baru mengajakku berjalan, ketika kawan pendaki yang datang bersama kami jalan lebih dulu. Lagi-lagi dia berdiri di depanku, tangannya pun sudah melayang di hadapanku. Tanpa pikir panjang lagi, aku sudah tau maksudnya. Dia memintaku untuk memegang tangannya. Meskipun tanpa berucap apapun.
Jelas saja, aku meraih tangannya. Dia mulai menggenggam erat tanganku. Dapat kurasakan dari kekuatannya memegang tanganku. Ia terus menunjukkan jalan padaku. Kemana aku harus menapakkan kakiku, dialah yang menuntunnya.
Sepanjang perjalanan, aku terus berpikir. Aku tak pernah menyangka jika ia akan melakukan semua ini padaku. Bahkan sejak saat kita mulai pendakian, hingga sekarang akan turun. Dia selalu menjagaku dengan sangat baik.

“Deon, andai aku bisa mengucapkan banyak kata. Akan kukatakan semua gejolak hati ini padamu. Kau benar-benar membuatku selalu terjaga. Bahkan dalam pendakian pertamaku ini, aku tak perlu khawatir. Selama kau ada di sampingku,” gumamku sembari memperhatikannya dari belakang.
“Mia, apa kau lelah?” celetuknya.
“Tidak,” sahutku menggeleng.
“Bilang ya, kalau kau kelelahan. Nanti kita bisa istirahat dulu.” aku mengangguk.
Saat mendekati kaki gunung, dan akan mengakhiri pendakian ini. Tiba-tiba saja ada masalah. “Auww…!” kakiku tidak dapat digerakkan.
“Kamu kenapa?” tanya Deon khawatir.
“Sepertinya kakiku kram!”
“Ayo duduk dulu,” tukasnya menyandarkan tubuhku pada sebuah pohon. Dengan sigap ia langsung menekan di arah kakiku yang mengalami kram. Sama seperti yang aku lakukan dengan pendaki sebelumnya.
“Auww…” aku berusaha menahan rasa sakitnya. Sementara Deon terus melakukan pertolongan.
“Coba sekarang digerakkan!”
“Oke! Sudah membaik,” sahutku lega.
“Syukurlah…” ucapnya dan menjatuhkan kepalanya di kepalaku.
“Eiissst… apa ini maksudnya?” gumamku kebingungan.
“Kau benar-benar selalu membuatku khawatir,” tukasnya kemudian mengangkat kepalanya, lalu mengusap rambutku.
Kejadian beberapa detik itu, tentu saja membuatku kebingungan. Aku harus berhadapan dengan hatiku yang bergejolak. Sikapnya secara tiba-tiba, sungguh membuat perasaanku tak karuan.
“Jangan lagi membuatku cemas. Aku sungguh khawatir padamu…” ucapnya lirih.
“Loh, kenapa harus khawatir? Selama ada kamu, pendakianku pasti aman. Kau pasti akan selalu menjagaku dengan baik!” seruku padanya melebarkan senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar